Kisah ini dialami oleh Prof. Dr. Thaha Abidin, salah seorang dosen tafsir Universitas Ummul Qura. Peristiwa ini dimuat dalam kitab Al-Arba’in Fi Dzikril Fisbukiyyin (hlm. 32-33) karya Mazin bin Abdurrahman Al-Biruti.
“Beberapa hari yang lalu aku safar ke Indonesia, sebuah negeri yang indah dan menyenangkan dalam sebuah perjalanan penuh berkah dan bertujuan mulia bersama teman-teman yang baik. Ketika sampai Jakarta, aku kehilangan handphon yang memiliki spek dan harga yang tinggi, padahal aku sangat butuh untuk berkomunikasi dengan keluarga dan teman-temanku. Aku juga perlu memantau tugas-tugasku dan tanggungjawabku. Yang lebih membuatku sedih adalah hilangnya data-data penting di dalamnya.
Allah memberiku karunia dalam hatiku sebuah keyakinan bahwa di balik peristiwa ini ada hikmah dan kelembutan-kelembutan-Nya yang banyak. Oleh karena itu, aku segera mengharapkan pahala dari Allah dan membaca istirja’ (inna lillah wa inna ilaihi raji’un). Aku memohon kepada Allah agar memberikan ganti yang lebih baik daripada yang hilang.
Ganti teragung yang Allah berikan kepadaku adalah bahwa diriku mendapatkan hatiku yang telah dibawa oleh HPku ke lembah-lembah yang jauh di antara banyaknya calling yang harus aku jawab, dan messages (pesan-pesan) yang menjadi menyibukkan hatiku dan memalingkan pandanganku. Aku hidup selama sepuluh hari tanpa menerima calling dari siapapun, tidak pula membaca Wattsapp atau twitts atau yang lainnya agar aku bisa mencoba hidup tanpa HP.
Aku hidup sesaat dalam ketenangan dan kegembiraan yang aku anggap ini sebagai hari-hari dalam hidupku yang paling menyenangkan. Pandanganku bisa terfokus untuk bertafakkur tentang ayat-ayat Allah, lisanku dapat membaktikan diri untuk dzikrullah dan hatiku untuk beribadah kepada-Nya. Aku menjadi tahu bahwa sarana-sarana modern ini sebagaimana ia memberi, ia juga mengambil. Ia mengambil afiyat dan agama kita, lalu ia mendatangkan kepada kita berbagai penyakit dan menyibukkan kita dari ibadah. Ia telah memutuskan majlis-majlis yang indah bersama keluarga kita, anak-anak kita, teman-teman kita dan mengganggu skala prioritas kita. Kita tersibukkan dari perkara yang penting dengan perkara yang tidak terlalu penting, dari sesuatu yang berharga dengan sesuatu yang rendahan.
Sepulang dari safar, aku putuskan dengan tegas untuk mengurangi prosentase interaksiku dengan HP sampai 70 %. Ini menuntutku untuk melakukan hal-hal berikut ini:
- Keluar dari banyak grup yang telah diinvite oleh sebagian mahasiswaku, teman-temanku dan Aku memohon maaf kepada mereka atas hal tersebut.
- Hanya menjawab panggilan-panggilan yang penting dalam waktu yang terbatas. Jika orang yang di rumah saja tidak harus menerima setiap orang yang mengetuk pintu, maka bagaimana HP ini selalu mengejar kita di setiap tempat, waktu dan keadaan. …
Aku memuji Allah yang telah mengambil Hpku dan memberikan ganti berupa hatiku. Allah memiliki hikmah yang besar dalam apa yang diberikan dan diambil-Nya, sebagaimana Allah berfirman kepada Nabi Yusuf – Alaihissalam – setelah mendapatkan banyak cobaan,
إِنَّ رَبِّي لَطِيْفٌ لِمَا يَشَاءُ. إِنَّهُ هُوَ اْلعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ.
“Sungguh, Tuhanku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sungguh Dia Yang Maha Mengetahui, Maka Bijaksana”. (QS. Yusuf: 100)…”.
Diterjemahkan secara ringkas oleh Muhtar Arifin.