Kita sudah berpuasa bertahun-tahun. Hanya saja, pernahkah kita merenungkan tentang puasa kita, sudah tingkat berapa ya?
Tatkala kita sudah berpuasa, maka itu adalah sebuah taufiq yang perlu untuk disyukuri. Hal itu karena belum semua orang diberikan taufiq untuk berpuasa. Akan tetapi kita perlu melihat kualitas puasa kita kembali.
Imam Ibnul Qayyim – rahimahullah – (w. 751 H) membagi puasa menjadi dua. Beliau mengatakan,
فَالصَّوْمُ هُوَ صَوْمُ الْجَوَارِحِ عَنِ اْلآثَامِ وَصَوْمُ الْبَطْنِ عَنِ الشَّرَابِ وَالطَّعَامِ
“Puasa adalah menahan anggota badan dari dosa-dosa dan menahan perut dari makanan dan minuman”. (Al-Wabilus Shayyib, hlm. 27).
Ketika memperhatikan penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa berpuasa itu ada dua tingkatan:
-
Puasa secara lahir.
Puasa secara lahir yaitu sekedar meninggalkan makanan dan minuman sejak terbit subuh sampai masuk maghrib. Apabila kita hanya berpuasa secara lahir, maka bagian kita adalah hanya lapar dan dahaga. Nabi bersabda:
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوْعُ وَاْلعَطَشُ
Betapa banyak orang berpuasa bagian dari puasanya adalah lapar dan dahaga.
(HR. Thabrani dalam AlKabir dan syaikh Al-Albani berkata: “Shaih Lighairihi” dala Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, no. 1084).
Inilah puasa yang paling mudah untuk dilakukan. Hal itu sebagaimana perkataan Maimun bin Mihran – rahimahullah -:
إِنَّ أَهْوَنَ الصَّوْمِ تَرْكُ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ.
Sesungguhnya puasa yang paling rendah adalah meninggalkan makanan dan minuman. (Mushonnaf Ibni Abi Syaibah, V/464, no. 9128, tahqiq Asy-Syitsri).
-
Puasa secara batin.
Puasa secara batin yaitu berpuasa dengan menahan diri dari makanan dan minuman serta pembatalnya, sekaligus berusaha menjaga diri agar tidak terjatuh dalam dosa dan kemaksiatan dengan memperhatikan adab-adab kehidupan yang mulia. Dalam hadits Abu Hurairah:
فَإذَا كَانَ يَومُ صَوْمِ أحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ
Apabila salah seorang di antara kalian sedang berpuasa, maka janganlah ia rafats.
(HR. Bukhari dan Muslim).
Ibnu Abdil Bar – rahimahullah – (w. 463 H) berkata:
فَإِنَّ الرَّفَثَ هُنَا الْكَلَامُ الْقَبِيحُ وَالتَّشَاتُمُ وَالْخَنَا وَالتَّلَاعُنُ وَنَحْوُ ذَلِكَ
Sesungguhnya rafats di sini adalah perkataan yang buruk, saling mencaci-maki, kekejian, saling melaknat dan sejenisnya. (At-Tamhid Lima Fil Muwaththa’ Minal Ma’ani wal Asanid, XIX/54).
Ini bukan berarti selain waktu puasa dibolehkan. Akan tetapi ini sebagai bentuk pembiasaan ketika ramadhan telah berlalu.
Syaikh Dr As-Sadhan mengatakan:
الْحِكْمَةُ الْجَامِعَةُ فِي الْعِبَادَاتِ كُلِّهَا هِيَ تَزْكِيَةُ النُّفُوْسِ
Hikmah yang mencakup semua ibadah adalah tazkiyatun nufus (menyucikan jiwa). (Ramadhan: Durus wa ‘Ibar wa Asrar, hlm. 3).
Semoga Allah memberikan kepada kita taufiq menuju kepada puasa yang hakiki dan dapat diterima di sisi Allah.