Persatuan dan keakraban adalah merupakan nikmat yang amat berharga. Allah berfirman:
لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ
Sekiranya engkau menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka”. (QS. Al-Anfal: 63).
Hanya saja, terkadang berbeda dalam mengamalkan suatu masalah agama yang termasuk furu’ (cabang) menyebabkan terjadinya permusuhan yang berkepanjangan.
Ada sebuah peristiwa menarik berkaitan dengan puasa yang layak untuk direnungkan kembali.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ: كُنَّا نُسَافِرُ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، فَلَمْ يَعِبِ الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ وَلَا الْمُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ.
Dari Anas bin Malik – semoga Allah meridhai beliau – berkata: “Dahulu kami pernah melakukan safar bersama Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -, maka orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka, orang yang berbuka tidak mencela orang yang berpuasa. (HR. Bukhari, no. 1947 dan Muslm, no. 1118).
Dalam hadits ini terlihat bagaimana para sahabat saling menghargai perbedaan yang ada di antara mereka. Orang yang mampu berpuasa ketika melakukan safar tidak menyalahkan orang-orang yang tidak berpuasa Demikian juga sebaliknya, orang yang tidak mampu berpuasa tidak mencela orang yang mampu berpuasa. Ini adalah merupakan ibrah yang amat indah ketika seseorang menghadapi perbedaan dalam mengamalkan suatu amalan yang sama-sama dibolehkan.
Perbedaan adalah Sunnatullah.
Perselisihan adalah merupakan sunnatullah (ketetapan Allah) yang pasti terjadi. Ia tidak hanya terjadi, bahkan akan terus-menerus terjadi kecuali jika dirahmati oleh Allah. Allah telah menjelaskan hal tersebut dalam firman-Nya:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ
“Sekiranya Rabbmu menghendaki tentu telah menjadikan manusia satu ummat saja. Mereka akan terus-menerus berselisih kecuali orang yang dirahmati oleh Rabbmu”. (QS. Hud: 118-119).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan dalam Tafsirul Qur’anil ‘Adhim (IV/361) bahwa perselisihan di antara manusia akan terus ada dalam hal agama, keyakinan, dan pendapat-pendapat mereka.
Lapang dada menghadapi perbedaan.
Ada sebuah adab mulia yang disebutkan oleh syaikh al-Utsaimin dalam masalah perbedaan. Adab ini sudah sepantasnya untuk kita cermati kembali. Beliau mengatakan:
رَحَابَةُ الصَّدْرِ فِيْ مَسَائِلِ الْخِلاَفِ
Kelapangan dada dalam masalah perbedaan. (Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh, XXVI/76). Maksudnya adalah berlapang dada dalam masalah-masalah yang perbedaan yang bersumber dari ijtihad dan tidak menjadikannya sebagai sebab permusuhan dan kebencian.
Kisah Imam Syafi’i
Berlapang dada dalam menghadapi perbedaan telah ditunjukkan oleh Imam Syafi’I sebagaimana dinukil oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala’ (X/16). Yunus Ash-Shadafi berkata: “Aku belum pernah melihat orang yang lebih berakal daripada Syafi’i. Pada suatu hari aku pernah berdiskusi dengannya tentang suatu masalah. Kemudian kami berpisah. Beliau menemuiku dan memegang tanganku, kemudian mengatakan:
يَا أَبَا مُوْسَى، أَلاَ يَسْتَقيمُ أَنْ نَكُوْنَ إِخْوَاناً وَإِنْ لَمْ نَتَّفِقْ فِي مَسْأَلَةٍ
“Wahai Abu Musa, tidakkah kita tetap pantas sebagai saudara meskipun kita tidak sepakat dalam suatu masalah?!”.
Demikianlah kemuliaan hati Imam Syafi’i. Beliau tetap menjaga persaudaraan dengan orang yang berbeda pendapat dengannya. Semoga Allah menjaga hati-hati kita untuk tetap bersatu dalam kebaikan meskipun fisik-fisik kita terpisahkan oleh jarak, ruang dan waktu.