Sebagian di antara kaum muslimin barangkali ada yang enggan belajar agama karena merasa sudah tua. Akibatnya, ia tidak mau membaca buku-buku tentang aqidah dan ibadah yang benar. Ia juga tidak pernah hadir di pengajian, majlis ta’lim dan halaqoh-halaqoh ilmiyyah. Saat ditanya, ia beralasan sudah terlanjur tua. Ia mengganggap dirinya telah terlambat. Sebenarnya, apakah ada keterlambatan dalam belajar agama?
Ada sebuah percakapan menarik yang dibawakan oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya Miftah Dar Sa’adah (I/282) :
وَسُئِلَ الْحَسَنُ عَنِ الرَّجُلِ لَهُ ثَمَانُوْنَ سَنَةً أَيَحْسُنُ أَنْ يَطْلُبَ الْعِلْمَ؟ قَالَ: ((إِنْ كَانَ يَحْسُنُ بِهِ أَنْ يَعِيْشَ))
“Al-Hasan pernah ditanya tentang seseorang yang berusia 80 (delapan puluh) tahun, apakah masih pantas menuntut ilmu? Beliau menjawab, “Jika orang itu masih pantas untuk hidup”.
Dari dialog di atas dapat diambil pelajaran sebagai berikut:
-
Tidak ada keterlambatan dalam belajar agama
Meskipun seseorang telah lanjut usia, ia masih pantas untuk belajar agama. Bisa jadi menuntut ilmu yang dilakukannya di usia tua menjadi sebab orang tersebut meraih husnul khatimah. Ada kemungkinan pula seseorang mengakhiri hidupnya dengan amal shalih yang berupa thalabul ilmi.
Dalam kitab Shahih At-Targhib wat Tarhib, No. 3357, terdapat sebuah hadits dari Anas – Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدٍ خَيْراً اسْتَعْمَلَهُ
“Apabila Allah menginginkan kebaikan pada seorang hamba, maka Allah mempergunakannya”.
Lalu ada orang yang bertanya, “Bagaimana mempergunakannya?”. Beliau menjawab?
يُوَفِّقُه لِعَمَلٍ صَالِحٍ قَبْلَ الْمَوْتِ
“Dia memberinya taufiq untuk beramal shalih sebelum meninggal dunia”. (HR. Hakim dan Syaikh AL-Albani berkata, “Shahih”).
-
Ilmu adalah kebutuhan manusia yang tidak berhenti
Setiap saat manusia membutuhkan ilmu. Tidak ada suatu aktivitas pun di dunia ini melainkan diperlukan ilmu di dalamnya agar menjadi baik. Dalam Miftah Dar Sa’adah (I/301) terdapat sebuah kalimat indah dari Imam Ahmad – Rahimahullah -:
النَّاسُ أَحْوَجُ إِلَى الْعِلْمِ مِنْهُمْ إِلَى الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ لِأَنَّ الطَّعَامَ وَالشَّرَابَ يُحْتَاجُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ وَالْعِلْمُ يُحْتَاجُ إِلَيْهِ كُلَّ وَقْتٍ
“Manusia lebih butuh kepada ilmu daripada kepada makanan dan minuman, karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari hanya sekali atau dua kali, sedangkan ilmu dibutuhkna di setiap waktu”.
Di antara contoh yang menunjukkan urgensi ilmu adalah saat seorang berpuasa, maka pada siang hari tidak makan dan tidak minum. Meskipun demikian, ia tetap membutuhkan ilmu tentang puasa yang benar, apa saja yang boleh dilakukan, apa yang dimakruhkan dan apa yang membatalkannya.
-
Hendaknya setiap muslim berusaha memotivasi diri sendiri dan orang lain untuk mencari ilmu
Dalam jawaban Al-Hasan Al-Bashri – rahimahullah – di atas, terdapat motovasi untuk menuntut ilmu. Hendaknya setiap muslim berusaha memotivasi diri sendiri dan orang lain agar mencintai ilmu dan bersemangat dalam mempelajarinya, mengamalkannya dan menyebarkanya kepada orang lain meskipun ilmu yang dimilikinya terlihat sedikit.
Dalam hadits Abdullah bin Amr – Radhiyallahu ‘anhuma – Rasulullah – Shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda,
بَلِّغُوْا عَنِّيْ وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku meskipun hanya satu ayat”. (HR. Bukhari).
Dalam Bahjatun Nadzirin (II/464), Syaikh Salim Al-Hilali menjelaskan bahwa kata “ayat” dari hadits tersebut mencakup ayat dari Al-Qur’an dan hadits dari sunnah nabawiyyah. Hadits nabawi ini memberikan pelajaran tentang wajibnya menyampaikan agama dan menyebarkannya meskipun hanya sesuatu yang sedikit.
Semoga Alloh memberikan kepada kita taufiq untuk cinta kepada ilmu agama, cinta menuntut ilmu, berusaha mengamalkannya dan mendakwahkannya sesuai kemampuan masing-masing. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Referensi:
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, 1421 H/2000 M, Shahih At-Targhib Wa At-Tarhib, Riyadh: Maktabah Al-Ma’arif.
Al-Hilali, Salim bin ‘Id, Bahjatun Nadzirin Syarh Riyadhish Shalihin, Dammam: Dar Ibnil Jauzi.
Ibnul Qayyim, Muhammad bin Abu Bakar, 1416 H/1996 M, Miftah Dar Sa’adah wa Mansyur Wilayati Ahlil Ilmi wal Iradah, Khubr: Dar Ibn Affan, tahqi Syaikh Ali Hasan Al-Halabi.