Apakah kita pernah meremehkan suatu nikmat yang kita terima? Tidak sedikit di antara kita mengeluhkan sedikitnya nikmat yang dianugerahkan kepada kita. Terkadang sudah memiliki rumah susun mewah yang berlantai-lantai, akan tetapi masih merasa sempit tempat tinggalnya. Ada juga yang memiliki penghasilan yang sudah lebih dari cukup, akan tetapi merasa masih kurang dan ingin hasil yang lebih berlipat-lipat lagi. Ada lagi yang telah memiliki kendaraan mewah dan istimewa, akan tetapi ingin kendaraan yang lebih bagus lagi.
Tatkala apa yang ada dalam hati adalah kekurangan, maka seseorang akan merasa gelisah dalam hatinya. Ia akan merasa gundah terhadap apa saja yang diterimanya. Ia galau dengan apa yang dihadapinya.
Setelah menyadari keadaan ini, kita menjadi berpikir: apa langkah yang dapat ditempuh untuk mengingatkan nikmat-nikmat agar kita lebih bersyukur atas karunia yang kita terima? Inilah sedikit yang akan penulis sampaikan pada kesempatan kali ini. Semoga bermanfaat.
Atsar dari Bakr Al-Muzani rahimahullah
Ada sebuah atsar yang sudah sepantasnya kita renungkan kembali. Imam Ibnu Abi Dunya telah membawakan sebuah riwayat dari Bakr bin Abdullah Al-Muzani. Beliau mengatakan:
يَا ابْنَ آدَمَ، إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَعْلَمَ قَدْرَ مَا أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْكَ فَغَمِّضْ عَيْنَيْكَ
Wahai anak Adam, apabila engkau ingin mengetahui besarnya nikmat yang telah Allah berikan kepadamu, maka pejamkanlah kedua matamu [note] Ibnu Abi Dunya, Asy-Syukr, no. 182 [/note]
Imam Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa Bakr bin Abdullah al-Muzani adalalah seorang imam yang menjadi qudwah (suritauladan). Beliau telah belajar kepada Al-Mughirah bin Syu’bah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Anas Bin Malik dan sejumlah sahabat [note]Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’ (IV/532) [/note] . Jadi beliau adalah salah seorang tabi’in.
Dalam atsar di atas, Imam Bakr Al-Muzani memulai dengan seruan untuk seluruh manusia keturunan Nabi Adam – Alaihissalam – dengan mengatakan: “Wahai Anak Adam”. Kemudian beliau menyampaikan apabila seseorang ingin mengetahui besarnya nilai nikmat-nikmat Allah yang telah dikaruniakan kepadanya, maka hendaknya ia memejamkan kedua matanya.
Kandungan dalam atsar
Dari atsar di atas dapat diambil beberapa pelajaran, antara lain:
1. Mahalnya nikmat melihat.
Kenikmatan yang berupa kemampuan melihat adalah merupakan kenikmatan yang amat mahal. Hal itu karena sebagian orang mengalami ujian berupa kebutaan sehingga tidak dapat melihat, maka ia berusaha mengobati sakit matanya. Ia akan mengeluarkan dana sebesar apapun agar dapat melihat dengan baik.
Allah telah menyebutkan nikmat mata ini dalam firman-Nya:
أَلَمْ نَجْعَلْ لَهُ عَيْنَيْنِ
Bukankah Kami telah menjadikan untuknya dua mata? [note] QS. Al-Balad: 8 [/note] Al-‘Allamah Muhammad Jamaluddin AL-Qasimi membawakan perkataan Al-Qasyani yang mengatakan tentang makna ayat tersebut: “Bukanlah Kami telah memberkan nikmat kepadanya (manusia) dengan perlengkapan tubuh yang menjadikannya mampu meraih kesempurnaan dengan melihat apa saja yang dapat diambil ibrah (pelajaran)nya? [note] Mahasinut Ta’wil, (IX/477). [/note] . Ketika merenungkan ayat ini, kita menjadi teringat bahwa kedua mata yang dapat digunakan untuk melihat adalah termasuk dari nikmat yang amat besar.
2. Adanya nikmat yang tidak disadari
Dengan memejamkan mata, kita menjadi teringat bahwa sebenarnya kita mendapatkan nikmat yang amat besar, akan tetapi kita tidak menyadari akan nikmat tersebut. Kita terkadang tidak menyadari bahwa kemampuan melihat adalah termasuk nikmat yang agung. Allah telah berfirman:
وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ الإنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
Dan Allah telah memberikan kepada kalian apa yang kalian minta. Dan jika kalian menghitung-hitung nikmat-nikmat ALlah tentu kalian tidak mampu melakukannya. Sesungguhnya manusia benar-benar berbuat aniaya lagi amat ingkar [note] QS. Ibrahim: 34. [/note]
Imam Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa nikmat terbagi menjadi tiga:
Pertama, nikmat yang diterima dan disadari.
Kedua, nikmat yang diterima dan tidak disadari.
Ketiga: nikmat yang belum datang dan masih dinanti [note]Al-Fawaid, hlm. 151. [/note]
Dari pembagian tersebut, kita menjadi teringat betapa banyaknya nikmat Allah yang kita terima. Hanya saja nikmat-nikmat tersebut sering kita lupakan dan kita lalaikan sehingga kita tidak menganggap karunia-karunia tersebut sebagai sebuah nikmat. Bahkan tidak jarang juga kita menganggaap karunia tersebut adalah sebagai sebuah hal yang biasa-biasa saja.
3. Merasa kurang dalam bersyukur.
Setelah kita memejamkan mata sejenak, kita menjadi teringat bahwa kita adalah hamba yang kurang dalam bersyukur. Nikmat-nikmat Allah selalu kita terima setiap hari, akan tetapi rasa syukur kita sangat kurang. Oleh karena itu, tidak heran ketika Allah menyebut bahwa jumlah orang yang banyak bersyukur adalah amat sedikit. Allah berfirman:
وَقَلِيلٌ مِنْ عِبادِيَ الشَّكُورُ
Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur [note]QS. Saba’: 13. [/note].
Imam Al-Qurthubi membawakan sebuah atsar dari Umar bin Khaththab berkaitan dengan ayat ini. Umar – radhiyallahu ‘anhu – mendengar ada orang mengatakan dalam doanya:
اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ الْقَلِيلِ
Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang yang sedikit.
Lalu Umar mengatakan: “Doa apakah ini?”.
Orang itu menjawab: “Yang aku inginkan adalah firman Allah ta’ala: “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur”.
Lalu umar mengatakan kepada dirinya: “Semua manusia lebih tahu daripada dirimu, wahai Umar!” [note] Al-Qurthubi, Al-Jaami’ Li Ahkamil Qur’an (XIV/227)[/note]. Dari atsar ini diketahui pentingnya berusaha untuk selalu bersyukur agar termasuk golongan orang-orang yang sedikit ini.
4. Pentingnya berdoa untuk kebaikan pandangan.
Doa adalah merupakan ibadah yang amat agung. Ia adalah amalan yang banyak mendatangkan kebaikan. Allah berfirman:
اُدْعُوْنِيْ أَسْتَجِبْ لَكُمْ
Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkan untuk kalian [note] QS. Ghafir: 60. [/note].
Salah satu doa yang diajarkan Nabi adalah memohon agar diberikan kebaikan dalam mata yang diberikan dan berlindung dari keburukan pandangan. Hal itu sebagaimana datang dalam hadits Syakl bin Humaid – radhiyallahu ‘anhu – berikut ini.
عن شَكَلِ بن حُمَيدٍ – رضي الله عنه – قَالَ: قلتُ: يَا رسولَ الله، علِّمْنِي دعاءً، قَالَ: «قُلْ: اللَّهُمَّ إنِّي أعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ سَمْعِي، وَمِنْ شَرِّ بَصَرِي، وَمِنْ شَرِّ لِسَانِي، وَمِنْ شَرِّ قَلْبِي، وَمِنْ شَرِّ مَنِيِّي
Dari Syakl bin Humaid – radhiyallah ‘anhu – berkata: Aku berkata : “Wahai Rasulullah, ajarilah aku sebuah doa!”. Beliau – shallallahu ‘alaihi wasallam – menjawab: “Katakanlah: Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari buruknya pendengaranku, dari keburukan penglihatanku, keburukan lisanku, keburukan hatiku, dan keburukan maniku”[note]HR. Abu Dawud dan Tirmidzi dan beliau mengatakan: Hadits Hasan. [/note]. Ini adalah salah satu dari doa penting yang sudah sepantasnya kita baca.
5. Mahalnya sesuatu akan diketahui jika telah hilang.
Ketika seseorang memejamkan mata sesaat, seakan-akan ia kehilangan kemampuan untuk melihat. Saat itu ia dapat merasakan bahwa suatu nikmat akan diketahui nilainya dan mahalnya apabila ia telah lenyap. Hal itu sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Sammak:
النعمة من الله على عبده مجهولة فإذا فقدت عرفت
Nikmat dari Allah kepada suatu hamba tidak diketahui. Apabila ia hilang, maka ia diketahui [note] Rab’ul Abrar wa Nushushul Akhbar, (V/283)[/note].
Ketika seseorang sedang dalam keadaan sehat, terkadang lupa akan nikmat sehat. Apabila ia tertimpa sakit, ia akan menyadari bahwa selama ini berada dalam nikmat yang tak ternilai harganya, yaitu nikmat sehat. Oleh karena itu dikatakan dalam kalimat hikmah:
الصحة تاج على رؤوس الأصحاء لا يعرفه إلا المرضى
Kesehatan adalah sebuah mahkota di atas kepala-kepala orang-orang yang sehat, tidak ada yang mengetahuinya kecuali orang-orang yang sedang sakit. Dari atsar di atas dapat diambil pelajaran yaitu bahwa suatu nikmat yang mahal tidak diketahui nilainya kecuali setelah hilang.
6. Urgensi memohon pertolongan agar dapat bersyukur
Setelah memejamkan mata sejenak, kita menjadi teringat bahwa bersyukur adalah merupakan hal yang sering terlalaikan. Dari sini kita menjadi tersadar bahwa tidaklah seseorang dapat bersyukur melainkan atas pertolongan dan taufiq dari Allah. Tanpa pertolongan-Nya, kita tidak dapat bersyukur.
Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – telah mengajarkan kita agar senantiasa bersyukur dalam hadits berikut ini:
عن معاذ – رضي الله عنه: أن رسُولَ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – أخذ بيده، وقال: يَا مُعَاذُ، وَاللهِ إنِّي لأُحِبُّكَ(( فَقَالَ: ))أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لاَ تَدَعَنَّ في دُبُرِ كُلِّ صَلاَة تَقُولُ: اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
Dari Mu’adz – semoga Allah meridhai beliau – bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam memegang tanganku. Beliau bersabda: “Wahai Muadz, Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mencintaimu”. Lalu beliau bersabda: “Aku berwasiat kepadamu, wahai Muadz. Janganlah engkau sekali-kali pada penghujung setiap shalat engkau meninggalkan bacaan: Ya Allah, berikanlah pertolongan kepadaku untuk dapat mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu dan memperbaiki peribadahan kepada-Mu” [note] HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Imam Nawawi dalam Riyadhush Shalihin.[/note].
Demikian sekilas tentang kandungan yang ada dalam atsar Imam Bakr bin Abdullah Al-Muzani. Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita semua untuk lebih bersyukur atas semua limpahan nikmat-Nya.