Imam Yahya bin Syaraf An-Nawawi (w. 676 H) – Rahimahullah -, telah membawakan dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (I/ 31 – Maktabatul Irsyad) sebuah perkataan Imam Syafi’I – Rahimahullah – berikut ini,
إِذَا كَثُرَتِ الْحَوَائِجُ فَابْدَأْ بأِهَمِّهَا
“Apabila keperluan banyak, maka mulailah yang paling penting”[1].
Penjelasan :
Ketika manusia masih hidup di dunia, maka kebutuhan-kebutuhan dan keperluan-keperluannya sangat banyak. Ada keperluan yang sifatnya jangka pendek, ada juga yang jangka panjang. Ada kebutuhan yang darurat dan ada yang bisa ditunda. Dalam kitab ‘Uyunul Akhbar (III/132 – Darul Kitabil ‘Arabi), Imam Ibnu Qutaibah (w. 276 H) membawakan bait seorang penyair
نَرُوْحُ وَنَغْدُوْ لِحَاجَاتِنَا وَحَاجَةُ مَنْ عَاشَ لاَ نَنْقَضِيْ
تَمُوْتُ مَعَ الْمَرْءِ حَاجَاتُهُ وَتَبْقَى لَهُ حَاجَةٌ مَا بَقِيْ
“Kita berangkat di sore dan pagi hari untuk hajat-hajat kita, dan hajat orang yang hidup tidak akan habis.
Hajat-hajat (duniawi) akan berhenti dari seseorang (jika ia meninggal). Selama ia masih hidup, ia masih memiliki hajat”
Dalam menyikapi banyaknya keperluan ini, tidak semua orang dapat melakukan banyak langkah dalam satu waktu secara bersamaan. Hal itu mengingat kondisi manusia yang memiliki berbagai keterbatasan. Oleh karena itu, Imam Syafi’i memberikan sebuah prinsip penting agar manusia memperhatikan tartibul aulawiyat (skala prioritas), yaitu mendahulukan sesuatu yang lebih penting daripada yang lainnya.
- Dasar Prinsip Skala Prioritas
Di antara dasar yang menguatkan prinsip di atas adalah hadits shahih riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Ummu Salamah – Radhiyallahu ‘anha – bahwasanya Nabi – Shallallahu ‘alaihi wasallam – apabila telah shalat subuh beliau membaca,
اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُكَ عِلْماً نَافِعاً، وَرِزْقاً طَيِّباً، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً
“Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik dan amalan yang diterima”.
Dalam Fiqhul Ad’iyah Wal Adzkar, (III/ 38), Syaikh Prof. Dr. Abdurrozzaq Al-Badr mengatakan,
وتأمَّل كيف بدأ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم هذا الدعاءَ بسؤال الله العلم النافع، قبل سؤاله الرِّزق الطيب والعمل المتقبَّل، وفي هذا إشارة إلى أنَّ العلمَ النافع مقدَّمٌ وبه يبدأ، كما قال الله تعالى: ((فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلَاّ اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ))، فبدأ بالعلم قبل القول والعمل
“Perhatikanlah, bagaimana Nabi – Shallallahu ‘alaihi wasallam – memulai doa ini dengan memohon kepada Allah ilmu yang bermanfaat sebelum memohon rizki yang baik dan amalan yang diterima. Di sini terdapat isyarat bahwa ilmu yang bermanfaat didahulukan daripada dan dengannya dimulai, sebagaimana Allah ta’ala berfirman, “Ketahuilah bahwasanya tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar kecuali hanya Allah. Mintalah ampunan untuk dosamu, dan untuk orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan”. (QS. Muhammad: 19). Memulai dengan ilmu sebelum berucap dan beramal”.
- Contoh Skala Prioritas
Sebagai contoh dari implementasi prinsip di atas adalah sebagai berikut,
- Berusaha meluruskan niat sebelum melakukan suatu amalan apapun.
- Mendahulukan maslahat yang kontinu daripada maslahat yang sementara.
- Mengutamakan keselamatan diri sebelum keselamatan orang lain.
- Mempelajari aqidah yang lurus sebelum mempelajari prinsip dasar berdebat untuk membantah suatu penyimpangan.
- Memprioritaskan perbaikan Sumber Daya Manusia (SDM) daripada perbaikan hal-hal lainnya.
- Memperhatikan kualitas fondasi dasar suatu perkara sebelum kualitas bangunan yang ada di atasnya.
- Mendahulukan amalan yang fardhu daripada yang sunnah.
- Mengedepankan fardhu ‘ain (kewajiban individu) daripada fardhu kifayah (kewajiban kolektif).
Demikianlah sekilas dari prinsip tartibul aulawiyyat (skala prioritas) ini. Semoga bermanfaat untuk kita semua. Ya Allah karuniakanlah kepada kami untuk dapat menerapkan prinsip skala prioritas dalam kehidupan ini. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan-Mu.
[1] Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, Jeddah: Maktabatul Irsyad (I/ 31).