Dalam Tarikhul Khulafa’ (hlm. 244), Imam As-Suyuthi (w. 911 H) menjelaskan bahwa pada bulan Dzulhijjah tahun 23 Hijriyyah sahabat Umar bin Khathab – Radhiyallahu ‘anhu – terbunuh. Pada cincin beliau tertulis ukiran,
كَفَى بِالْمَوْتِ وَاعِظًا.
“Cukuplah kematian sebagai penasihat”.
Ada sebuah kejadian menarik setelah terjadi tragedi penikaman beliau di shalat subuh. Pada detik-detik menjelang wafat, beliau berkata, “Wahai putra saudaraku, angkatlah kainnmu, sesungguhnya yang demikian itu lebih bersih untuk kainmu dan lebih takwa kepada Rabbmu”. Ini adalah kalimat indah yang keluar dari lisan Amirul Mukminin Umar bin Khaththab – Radhiyallahu ‘anhu – di detik-detik akhir hayat. Bagaimana kisahnya? Apa sisi keindahannya? Berikut ini kisahnya secara ringkas.
Imam Bukhari telah meriwayatkan dalam Shahih-nya (No. 3700) bahwa pada shalat subuh Umar bin Khaththab – radhiyallahu ‘anhu – menjadi imam. Lalu datanglah seorang lelaki membawa pisau yang ingin menikam beliau. Pisaunya memiliki dua sisi ketajaman. Ia masuk ke dalam shaf shalat. Tidaklah ia melewati seorangpun di sebelah kanan dan kiri melainkan menikamnya sampai ada 13 (tiga belas) orang yang tertikam. Di antara mereka ada 7 (tujuh) orang yang kemudian meninggal dunia. Akhirnya, ia sampai ke Amirul Mukminin Umar berada di tempat imam lalu menikamnya. Ketika ia menyangka akan tertangkap, maka ia pun bunuh diri.
Orang-orang yang dekat dengan imam dapat melihat apa sebenarnya yang terjadi. Sedangkan orang-orang yang berada di sisi-sisi masjid tidak mengetahui tragedi tersebut, maka merekapun bertasbih, “Subhanallah, Subhanallah”. Lalu Abdurrahman bin Auf – radhiyallahu ‘anhu – maju menjadi imam menggantikan Umar – radhiyallahu ‘anhu – dan shalat dengan ringan/pendek.
Setelah tertikam, tidak ada minuman yang dapat beliau minum. Dalam riwayat ‘Amr bin Maimun – Rahimahullah – dari riwayat Shahih Bukhari di atas dijelaskan
فَأُتِيَ بِنَبِيذٍ فَشَرِبَهُ، فَخَرَجَ مِنْ جَوْفِهِ، ثُمَّ أُتِيَ بِلَبَنٍ فَشَرِبَهُ، فَخَرَجَ مِنْ جُرْحِهِ، فَعَلِمُوا أَنَّهُ مَيِّتٌ
“Dibawakan nabidz, lalu beliau meminumnya, lalu keluar dari perutnya. Kemudian dibawakan susu, maka beliau pun meminumnya. Lalu keluarlah susu itu dari lukanya. Lalu orang-orang mengetahui bahwa beliau hampir-hampir meninggal dunia”…
Lalu datanglah seorang pemuda untuk menjenguk beliau. Ketika pemuda itu akan pergi ternyata ia memakai sarung yang terjulur sampai menyentuh tanah, beliau berkata,
رُدُّوا عَلَيَّ الْغُلَامَ
“Panggillah kembali kepadaku anak muda itu!”. Kemudian beliau berkata,
ابْنَ أَخِي ارْفَعْ ثَوْبَكَ، فَإِنَّهُ أَبْقَى لِثَوْبِكَ، وَأَتْقَى لِرَبِّكَ
“Wahai putra saudaraku, angkatlah kainmu, sesungguhnya yang demikian itu lebih bersih untuk kainmu dan lebih takwa kepada Rabbmu”. Beliau mengingatkan pemuda tersebut agar meninggikan sarungnya supaya tidak mengenai tanah dengan ungkapan yang sangat santun.
Para pembaca – rahimahukumullah– mari kita perhatikan apa yang beliau sampaikan. Ketika Amirul Mukminin menegur kekeliruan pemuda tersebut dalam berpaiakan, beliau tidak mengatakan, “Apa yang engkau lakukan ini haram”. Tidak pula beliau berkata, “Jika engkau melakukannya, maka akan masuk neraka”. Tidak pula mengatakan, “Hati-hati, neraka telah menunggumu dengan memakai pakaian seperti itu” atau ungkapan-ungkapan lainnya.
Ini menunjukkan bahwa dalam menegur kekeliruan seseorang tidak mesti dengan kata-kata yang berisi ancaman dan kekasaran. Jika cukup dengan kata-kata yang ringan, lemah lembut, sesuai dengan orang yang diajak bicara dan dapat dipahami, maka cukuplah dengan kata tersebut. Bagaimana Nabi Musa dan Nabi Harun telah diperintahkan oleh Allah mendakwahi Raja Fir’aun dengan kata-kata yang lembut. Allah berfirman,
اذْهَبا إِلى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغى (43) فَقُولا لَهُ قَوْلاً لَيِّناً لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشى (44)
“Pergilah kamu berdua menuju Fir’aun. Sesungguhnya ia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kepadanya (Fir’aun) dengan perkataan yang lemah lembut. Mudah-mudahan ia sadar atau takut”. (QS. Thaha: 43-44).
Ada sebuah kalimat yang pantas diukir dengan tinta emas dari Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah (VI/272) bahwa Syaikh Abdul Aziz bin Bazz – rahimahullah – berkata,
النَّاصِحُ وَالدَّاعِي إِلَى اللهِ كَالطَّبِيْبِ يَتَحَرَّى الْوَقْتَ الْمُنَاسِبَ وَالْكَمِّيَّةَ وَالْكَيْفِيَّةَ الْمُنَاسِبَةَ.
“Orang yang menasihati dan orang yang mengajak kepada Allah (seorang da’i) seperti seorang dokter. Ia memilih waktu, kadar dan cara yang sesuai”.
Semoga Allah memberikan kepada kita taufiq untuk dapat bersikap santun dalam memperbaiki dan menasihati. Dengan ini mudah-mudahan orang-orang dinasihati menjadi lebih mudah dalam menerima tuntunan agama yang mulia ini tanpa ada luka di hati. Amin ya Rabbal ‘Alamin.