Salah satu cara mengajarkan islam kepada manusia adalah dengan menulis kitab. Dalam Shahih Targhib Wat Tarhib, no. 275, terdapat hadits Rasulullah – Shallallahu ‘alaihi wasallam – berikut ini,
إنّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ، عِلْماً عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ …
“Sesungguhnya termasuk amalan dan kebaikan yang dapat menyusul orang mukmin setelah meninggal adalah ilmu yang dia ajarkan dan sebarkan”. Ketika para ulama menulis kitab-kitab, maka tidak sedikit terjadi keajaiban di dalamnya. Salah satunya Al-Mabsuth sebuah kitab fiqih dalam madzhab Hanafi. Apa keajaiban dalam penyusunan kitab ini?
Dalam kitab Khulashah Tarikh Tasyri’ Wa Marahiluhul Fiqhiyyah (hlm. 101-102), Prof. Dr. Abdullah Ath-Thuraiqi, salah seorang dosen pascasarjana Universitas Malik Su’ud, Saudi Arabia menjelaskan tentang sejarah perkembangan fiqih islam dari tahun 320-656 H. Beliau menyebutkan tentang salah salah satu ulama pada masa ini adalah Imam Syamsul Aimmah As-Sarkhasi (w. 483 H). Prof. Ath-Thuraiqi berkata,
وَالْمَبْسُوْطُ فِي اْلفِقْهِ وَهُوَ شَرْحُ الْكَافِي لِلصَّدْرِ الشَّهِيْدِ وَهُوَ خَمْسَةَ عَشَرَ مُجَلَّدًا فِيْ ثَلَاثِيْنَ جُزْءًا أَمْلَاهُ وَهُوَ فِي السِّجْنِ بِأُوزْجُنَدَ بِسَبَبِ كَلِمَةٍ كَانَ فِيْهَا مِنَ النَّاصِحِيْنَ، وَكَانَ الْإِمْلَاءُ وَهُوَ فِيْ أَسْفَلِ الْجُبِّ، وَالطَّلَبَةُ فِيْ أَعْلَاهُ يَكْتُبُوْنَ مَا يُمْلِيْ عَلَيْهِمْ مِنْ خَاطِرِهِ مِنْ غَيْرِ مُطَالَعَةِ كِتَابٍ، وَلَا مُرَاجَعَةِ تَعْلِيْقٍ، وَلَهُ مُصَنَّفَاتٌ أُخْرَى.
“Al-Mabsuth dalam fiqih. Ia adalah syarah kitab Al-Kafi karya Ash-Shadr Asy-Syahid. Jumlahnya 15 (lima belas) jilid dalam 30 (tiga puluh) juz. Kitab ini didektekan oleh beliau ketika berada di penjara yang terletak di Uzjunad. Beliau (dipenjara) disebabkan karena suatu kata yang beliau sampaikan sebagai bentuk nasihat. Imla’ (pendiktean) itu terjadi dari dasar sumur, sedangkan murid-murid beliau berada di atas sumur. Mereka menulis apa yang diimlakkan kepada mereka dari lintasan pikirannya tanpa menelah satu kitab pun, dan tanpa kembali kepada satu catatanpun. Beliau memiliki karya-karya ilmiah yang lainnya”.
Subhanallah, meskipun beliau di dalam sumur, akan tetapi Allah memberikan kemudahan untuk menyampaikan masalah-masalah fiqih sampai menjadi kitab yang sangat besar tersebut. Ini adalah sebuah keajaiban yang luar biasa dalam sejarah perkembangan ilmu fiqih.
Berikut ini sampul kitab Al-Mabsuth yang diterbitkan oleh Darul Marifah Bairut, Libanon:
Halaman muqaddimah kitab ini terdapat naskah sebagai berikut:
Naskah muqaddimah ini dimulai dengan basmalah, pembukaan dan shalawat. Setelah itu terdapat pernyataan berikut ini dari orang yang mencatatnya:
قَالَ الشَّيْخُ اْلإِمَامُ اْلأَجَلُّ الزَّاهِدُ شَمْسُ اْلأَئِمَّةِ أَبُوْ بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ أَبِيْ سَهْلٍ السَّرْخَسِيُّ – رَحِمَهُ اللهُ وَنَوَّرَ ضَرِيْحَهُ – وَهُوَ فِي الْحَبْسِ بِأُوزْجُنَدَ إِمْلَاءً.
“Syaikh Imam Al-Ajal Az-Zahid Syamsul Aimmah Abu Bakar Muhammad bin Abu Sahl As-Sarkhasi – semoga Allah merahmati dan menerangi beliau dalam kuburnya – sedangkan beliau dalam keadaan dipenjara di Uzjunada secara imla’ (didikte)”.
Demikianlah keajaiban penulisan kitab Al-Mabsuth ini. Sebuah kitab yang menjadi rujukan dalam penelitian para penuntut ilmu sampai saat ini. Dari kisah ini dapat diambil tiga buah pelajaran:
- Dalam segala keterbatasan terdapat peluang mengajarkan kebaikan. Meskipun As-Sarkhasi dari dalam sumur beliau memanfaatkan untuk mengimla’ (mendikte) masalah-masalah fiqih sampai menjadi kitab Al-Mabsuth.
- Cobaan-cobaan akan membuahkan keistimewaan. Imam As-Sarkhasi dapat menyusun kitab dalam bentuk imla’ (dikte).
- Beratnya ujian seorang ulama. Ulama adalah orang yang sangat berat ujiannya.
Semoga Allah merahmati para ulama kaum muslimin dan para asatidzah semuanya yang mana kita dapat mempelajari ilmu agama ini dari mereka. Mudah-mudahan Allah memberikan sebaik-baik balasan kepada semua pihak yang ikut serta dalam menyebarkan ilmu syar’i dan berpartisipasi di dalamnya. Amin.