Dalam Diwan Al-Mutanabbi (hlm. 483-485) dijelaskan bahwa pada tahun 348 H, seorang penyair masa Daulah Abbasiyyah yang bernama Al-Mutanabbi mengalami sakit demam di Mesir, lalu melantunkan bait syair:
وَلَمْ أَرَ فِيْ عُيُوْبِ النَّاسِ شَيْئًا كَنَقْصِ الْقَادِرِيْنَ عَلَى التَّمَامِ
“Tidaklah aku melihat sesuatu pada aib-aib manusia, sebagaimana kurangnya orang-orang yang mampu untuk menjadi sempurna”
Dalam bait ini, penyair mengisyaratkan bahwa adanya aib dan kekurangan pada manusia adalah hal yang biasa, karena tidak ada manusia yang sempurna, kecuali para Rasul-Nya. Akan tetapi kekurangan yang sangat besar pada seseorang adalah tatkala tidak ada usaha untuk mengembangkan diri dan meningkatkan potensi diri, padahal ia memiliki kemampuan untuk melakukannya. Dalam hadits Abu Hurairah dalam riwayat Muslim, Rasulullah- Shallallahu ‘alaihi wasallam – telah bersabda,
اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجَزْ.
“Bersemangatlah engkau dalam menggapai apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan merasa lemah”.
Dalam menggapai suatu cita-cita pasti ada halangan dan aral yang melintang, salah satu rintangannya adalah sakit. Al-Mutanabbi juga melantunkan,
فَإِنْ أُمْرَضْ فَمَا مَرِضَ اصْطِبَارِيْ وَإِنْ أُحْمَمْ فَمَا حُمَّ اعْتِزَامِيْ
وَإِنْ أَسْلَمْ فَمَا أَبْقَى وَلَكِنْ سَلِمْتُ مِنَ الْحِمَامِ إِلَى الْحِمَامِ
“Maka jika aku sakit, kesabaranku tidaklah sakit, dan jika aku ditimpa demam, maka azam/tekadku tidak terkena demam.
Jika aku selamat, aku tidak akan menjadi kekal, akan tetapi aku selamat dari suatu kematian, menuju kepada kematian (yang akan datang)”
Penyair mengungkapkan bahwa kesabaran yang dimilikinya selalu dalam keadaan kuat. Meskipun sakit sedang menimpa beliau, akan tetapi beliau tetap berusaha bersabar, tidak berputus asa dan tetap optimis dan bersemangat. Sakit yang sedang dialaminya, tidak menghalanginya dari semangatnya yang membara untuk meraih kebaikan-kebaikan dan menggapai cita-cita yang mulia. Selanjutnya, apabila beliau sembuh dan sehat setelah mengalami sakit, maka hal itu bukan menjadi isyarat bahwa ia akan hidup selamanya. Jika ia sehat, pasti suatu saat akan mengalami kematian. Allah berfirman dalam surat Al-Anbiya’ ayat 35:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan kebaikan dan keburukan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami”.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa setiap orang hendaknya berusaha untuk meningkatkan dan mengembangkan diri. Bukan untuk menjadi lebih baik dari orang lain lalu merendahkan dan menghina mereka, tetapi untuk menjadi lebih baik dari diri sendiri pada masa yang telah lalu.
- Tubuh bisa saja sakit, finansial dalam keadaan defisit, bahkan hutang bisa setinggi bukit sehingga hidup seperti sempit terhimpit, hati pun ingin menjerit, tetapi semangat dan tekad menuju kebaikan dan ridha Allah jangan ikut sakit, dan yakinlah secercah cahaya anugerah akan terbit.
- Meskipun aral melintang, halangan menghadang, dan hambatan di depannya tegak menjulang, hendaknya tidak berhenti dalam berjuang menggapai ridha Allah, menggapai cita-cita yang luhur dan mulia sebelum masuk ke dalam sebuah terbaring di sebuah liang.