Dalam kitab Wafayatul A’yan Wa Anba-u Abnaiz Zaman (II/516), Imam Ibnu Khallikan (w. 681 H) menjelaskan biografi seorang ahli bahasa Arab dari Mesir yang bernama Abul Hasan Thahir bin Ahmad An-Nahwi. Di antara karya beliau adalah Syarhul Jumal, karya Az-Zajjaji, Syarh Kitabil Ushul, karya Ibnu Sirraj dan lain-lain.
Pada suatu hari Abul Hasan An-Nahwi berada di masjid jami’ di Mesir dalam keadaan makan sesuatu bersama sejumlah orang. Lalu hadirlah seekor kucing. Mereka pun melemparinya dengan sesuap makanan. Ia bawa dengan digigit lalu pergi. Setelah itu kembali lagi, lalu mereka lempari sesuap makanan lagi, lalu ia segera pergi. Ini terjadi secara berulang-ulang. Mereka heran dengan keadaan kucing ini. Mereka tahu bahwa makanan seperti ini tidak mungkin dimakan sendiri karena jumlahnya banyak. Ketika mereka mencurigai kucing tersebut, mereka pun mengikutinya. ke mana ia bawa makanan-makanan tersebut?
Ternyata kucing itu membawa makanan itu ke sebuah dinding di atap masjid jami’, kemudian turun ke sebuah tempat kosong yang di dalamnya terdapat seekor kucing lain yang berada dalam keadaan buta. Semua makanan yang diterima oleh kucing dari orang-orang yang memberinya tadi dibawanya dan diletakkannya di depan kucing buta tadi, lalu ia makan. Maka orang-orang pun heran dengan keadaan tersebut. Demikianlah kisah kucing buta ini.
Kisah ini menunjukkan bahwa Allah Mahakuasa dalam membagi rizki kepada para makhluk-Nya. Mahabenar Allah yang telah berfirman dalam Surat Hud ayat 6,
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأرْضِ إِلا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ (6)
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)”.
Masing-masing makhluk telah ditetapkan rizkinya di dunia oleh Allah. Rizki-Nya yang terbagi tidak berdasarkan dari kelengkapan fisiknya, akalnya, usianya, kemampuannya, dan tidak pula dari keahliannya, tetapi sesuai dengan takdir-Nya yang penuh dengan kebijaksanaan, rahmat dan keadilan-Nya. Dalam Al-Adabul ‘Arabi wa Tarikhuhu, (hlm. 52) Dr. Abdurrahman Ar-Robi’ membawakan bait syair seorang sastrawan pada masa Daulah Abbasiyyah yang bernama Abu Tammam Ath-Tha-I (w. 231 H);
يَنَالُ اْلفَتَى مِنْ عَيْشِهِ وَهُوَ جَاهِلُ وَيُكْدِي الْفَتَى فِيْ دَهْرِهِ وَهُوَ عَالِمُ
وَلَوْ كَانَتِ اْلأَرْزَاقُ تَجْرِيْ عَلَى الْحِجَا هَلَكْنَ إِذَنْ مِنْ جَهْلِهِنَّ الْبَهَائِمُ
“Manusia mendapatkan penghidupannya, sedangkan ia dalam keadaan jahil.
(Di sisi lain) ada seseorang yang mengalami kefakiran dalam hidupnya sedangkan ia adalah seorang ‘alim.
Sekiranya rizki-rizki itu diperoleh sesuai dengan akal (yang dimiliki makhluk-Nya), tentu binatang akan binasa (tidak mendapatkan rizki) karena kejahilannya”.
Mahasuci Engkau Ya Allah yang Mahakuasa dalam mengatur seluruh makhluk-Nya dengan penuh kebijaksanaan. Semoga Allah selalu memberikan kepada kita semua taufiq untuk selalu bertaqarrub kepada-Nya dalam setiap keadaan. Amin.