Pertanyaan:
Ustadz, ijin bertanya, apakah dibolehkan memberi nama masjid dengan Al-Malik sebagai salah satu Al-Asma-ul Husna? Syukron wa jazakumullah khairan. (GF – Krapyak).
Jawab:
Alhamdulillah. Washshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah wa’ala alihi washahbihi. Waba’d.
Pertama, semua masjid adalah milik Allah ta’ala.
Meskipun masjid-masjid dibangun oleh manusia, akan tetapi pada hakikatnya seluruh masjid yang ada adalah milik Allah ta’ala semata. Allah berfirman.
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوْا مَعَ اللهِ أَحَدًا.
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu (adalah) milik Allah, maka janganlah kamu meyembah apapun di dalamnya selain Allah”. (QS. Al-Jinn: 18).
Dalam Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, Imam Al-Qurthubi menjelaskan ketika menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan
قَوْلُهُ تَعَالَى: لِلَّهِ إِضَافَةُ تَشْرِيفٍ وَتَكْرِيمٍ
“Firman-Nya – ta’ala –, “Milik Allah” adalah penyandaran yang mengandung makna tasyrif (penghormatan) dan takrim (pemuliaan)”.
Kedua, rincian penamaan masjid.
Berkaitan dengan masalah penamaan masjid, ada beberapa rincian yang perlu dipahami bersama. Dalam Mu’jamul Manahil Lafdziyyah (hlm. 504-506), Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid – Rahimahullah – menjelaskan bahwa penamaan masjid terdiri dari beberapa jenis, ringkasannya sebagai berikut;
Jenis Pertama, memberi nama masjid dengan nama yang hakiki, seperti:
- Memberi nama masjid dengan nama orang yang membangunnya. Ini dibolehkan. Misalnya, Masjid Nabi – Shallallahu ‘alaihi wasallam, Masjid Rasulillah – Shallallahu ‘alaihi wasallam -.
- Memberi nama masjid dengan nama lokasi atau nama kaum yang shalat di sana. Ini dibolehkan. Misalnya: masjid Quba’ dan Masjid Bani Zuraiq sebagaimana dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari hadits Ibnu Umar tentang musabaqah menuju masjid Bani Zuraiq.
- Memberi nama masjid dengan sifat yang menjadikannya istimewa, seperti Al-Masjidul Haram dan Al-Masjidul Aqsha sebagaimana firman Allah ta’ala,
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى
“Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada mala mhar dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha”. (QS. Al-Isra’: 1).
Jenis Kedua, memberi masjid dengan nama yang tidak hakiki agar menjadi istimewa dan menjadi dikenal dengan nama tersebut, misalnya nama tokoh-tokoh baik yang ada dalam ummat ini. Ini hukumnya boleh. Seperti: Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq – Radhiyallahu ‘anhu .
Jenis Ketiga, memberi nama masjid dengan Al-Asma’ul Husna. Ini termasuk perkara baru yang belum dilakukan oleh orang-orang terdahulu, maka sebaiknya ditinggalkan. Demikian ringkasan tentang masalah penamaan masjid oleh Syaikh Bakr – Rahimahullah -.
Pembahasan ini telah dijelaskan pula dalam kitab Ahkamul Masajid Fisy-Syari’atil Islamiyyah, karya Syaikh Ibrahim bin Shalih Al-Khudhairi (II/ 375-378).
Ketiga, memilih nama yang membawa kemaslahatan yang kontinu.
Dalam memberikan nama untuk sebuah masjid, sebaiknya dimusyawarahkan antara donatur yang membangun masjid dengan pengurus masjid atau antara sesama pengurus masjid atau bersama masyarakat sekitarnya. Ini perlu dilakukan agar terwujud kemaslahatan yang lebih umum, masjid dapat dimakmurkan oleh jama’ah dan dalam rangka untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari. Dalam Qawa’idul Maqashid, (hlm. 362) dijelaskan sebuah kaidah maqashidiyyah oleh Imam Syathibi,
النَّظَرُ إِلَى مَآلاَتِ اْلأَفعَالِ مُعْتَبَرٌ مَقْصُوْدٌ شَرْعًا، كَانَتِ الْأَفْعَالُ مُوَافِقَةً أَوْ مُخَالِفَةً.
“Memperhatikan efek-efek perbuatan adalah diakui (dipertimbangkan) dan dimaksudkan secara syariat, baik perbuatan itu sesuai atau menyalahi efek-efek tersebut”.
Demikian ringkasan tentang macam-macam penamaan masjid. Wallahu ‘alamu bish Shawab.