Kelupaan, kesalahan dan kekhilafan adalah sesuatu yang wajar terjadi pada manusia. Tidak ada manusia biasa yang maksum (terjaga) dari kekeliruan. Dalam Shahih Targhib wa Tarhib (no. 3139) dari hadits Anas – Radhiyallahu ‘anhu – yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah, Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda
كلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ، وخيرُ الخطَّائينَ التَّوابُون
“Setiap anak Adam banyak berbuat salah. Sebaik-baik orang yang banyak berbuat salah adalah orang-orang yang bertaubat”
Dalam Majmu’ Fatawa (XXI/516), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah – Rahimahullah – berkata,
فَإِنَّ الرُّجُوْعَ إِلَى الْحَقِّ خَيْرٌ مِنَ التَّمَادِيْ فِي الْبَاطِلِ.
“Sesungguhnya kembali kepada kebenaran lebih baik daripada terus-menerus dalam kebatilan”.
Berikut ini beberapa kisah menarik yang diabadikan dalam lembaran-lembaran sejarah tentang sejumlah ulama yang meralat kekeliruan yang akhirnya menjadi sebuah kemuliaan bagi mereka,
- Abu Hurairah – Radhiyallahu ‘anhu-.
Dalam Ma’alim Fi Thariqil Ishlah (hlm. 17) disebutkan bahwa ada seseorang yang pernah bertanya kepada Abu Hurairah – Radhiyallahu ‘anhu – tentang suatu masalah. Lalu beliau memberikan fatwa kepadanya. Setelah orang itu berpaling, beliau teringat bahwa beliau telah tergelincir di dalamnya. Lalu beliau pergi ke pasar agar dapat menemui orang tersebut, tetapi beliau tidak menemukannya. Lalu beliau menyeru di pasar,
إِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ أَفْتَى فِيْ مَسْأَلَةِ كَذَا وَكَذَا، وَإِنَّهُ أَخْطَأَ.
“Sesungguhnya, Abu Hurairah telah berfatwa dalam masalah ini dan ini, dan ia keliru”.
- Ahmad bin ‘Amr Al-Khashshaf, seorang hakim.
Dalam Al-Jawahirul Mudhiyyah Fi Thabaqatil Hanafiyyah, (I/231) Abdulqadir Al-Qurasyi menjelaskan bahwa sebagian masyayikh Balkh telah mengatakan,
دَخَلْتُ بَغْدَادَ، وَإِذَا عَلَى الْجِسْرِ رَجُلٌ يُنَادِيْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ يَقُوْلُ: أَلَا إِنَّ الْقَاضِيَ أَحْمَدَ بْنَ عَمْرِو الْخَصَّافَ اُسْتُفْتِيَ فِيْ مَسْأَلَةِ كَذَا، فَأَجَابَ بِكَذَا وَكَذَا، وَهُوَ خَطَأٌ، وَالْجَوَابُ : كَذَا وَكَذَا. رَحِمَ اللهُ مَنْ بَلَّغَهَا صَاحِبَهَا.
“Aku telah masuk ke kota Baghdad. Tiba-tiba di atas jembatan ada seorang lelaki yang memanggil selama tiga hari, mengatakan, “Ketahuilah sesungguhnya Al-Qadhi Ahmad bin Amr Al-Khashshaf telah dimintai fatwa tentang masalah ini, lalu ia menjawab demikian dan demikian. Ini adalah salah. Jawaban yang benar adalah demikian dan demikian. Semoga Allah merahmati orang yang menyampaikan kepada orang yang bertanya tersebut”.
- Bisyr bin Abil Azhar Al-Qadhi Al-Hanafi.
Dalam An-Nujumuz Zahirah Fi Muluki Mishr Wal Qahirah (II/206), Ibnu Taghri Burdi menyebutkan bahwa pada tahun 213 H wafat seorang hakim yang bernama Bisyr bin Abil Azhar. Beliau pernah berfatwa tentang suatu masalah lalu meralat jawabannya. Ibnu Targhri berkata,
سَأَلَهُ رَجُلٌ عَنْ مَسْأَلَةٍ فَأَخْطَأَ فِيْهَا فَعَزِمَ أَنْ يَقْصِدَ عَبْدَ اللهِ بْنَ طَاهِرٍ الْأَمِيْرَ لِيُنَادَى عَلَيْهِ فِي الْبُلْدَانِ: بِشْرٌ أَخْطَأَ فِيْ مَسْأَلَةٍ فِي النِّكَاحِ حَتَّى رَدَّهُ رَجُلٌ وَقَالَ: (أَنَا أَعْرِفُ الرَّجُلَ الَّذِيْ سَأَلَكَ).
فَأُتِيَ بِهِ إِلَيْهِ
فَقَالَ لَهُ: (أَنَا أَخْطَأْتُ وَقَدْ رَجَعْتُ عَنْ قَوْلِيْ، وَالْجَوَابُ فِيْهِ كَذَا وَكَذَا)
“Ada seseorang bertanya kepada beliau tentang suatu masalah lalu keliru dalam menjawabnya. Kemudian beliau menuju kepada seorang Amir (penguasa) yang bernama Abdullah bin Thahir agar diumumkan di seluruh negeri bahwa Bisyr telah salah dalam suatu masalah tentang nikah agar penanya didatangkan. Amir itu mengatakan, “Aku tahu orang yang engkau tanyakan”. Lalu si penanya didatangkan. Bisyr berkata, “Aku telah salah dan aku cabut perkataanku. Jawabannya (yang benar) adalah demikian dan demikian”.
Subhanallah, mereka adalah tauladan untuk generasi setelah mereka. Mereka rela menghilangkan keegoan diri demi kebenaran. Semoga kita termasuk orang-orang yang dengan mudah kembali kepada kebenaran setelah terjatuh dalam sebuah kekeliruan. Amin.